Aku menyukainya. Seseorang yang selalu hadir dalam
otakku dan menghiasi hari-hariku. Dia terlalu menyilaukan bagiku. Hari ini pun
dia tampak menyilaukan hingga aku tak tahan memandanginya. Tetapi aku akan
tetap memandanginya karena aku jatuh cinta padanya.
“hei,
dengar deh!” panggil seorang cowok membangunkanku dari lamunanku.
“eh..eh..
iya, ada apa?” Sahutku pada cowok itu mengira dia berbicara padaku.
“haah..
Bukan kamu. Aku ngomong sama Trisna, bukan kamu.” Jawab cowok itu sambil
memandang remeh ke arahku.
“oh,
maaf.” Haah.. Lagi-lagi aku memalukan diriku sendiri lagi. Aku terlalu GR
mengira mereka cowok itu ngomong sama aku. Ini ditambah lagi ada Trisna cowok
yang aku sukai, melihat tindakanku yang memalukan.
“Selamat
lagi, Nisya.” Sapa Trisna tersenyum lembut
“eh,,
Pa…pagi..” Akh, kenapa aku gugup. Padahal itukan sapaan dari Trisna. Ukh,
memalukan sekali. Tapi apa benar, tadi Trisna menyapaku? Atau itu tadi hanya
imajinasiku saja.
“selamat
pagi, anak-anak. Kembali ke tempat duduk masing-masing. Kita mulai pelajaran
hari ini.” Kata pak guru memulai pelajaran.
Trisnanta
Setiawan cowok yang sangat popular di kelasku. Semua anak sekelasku sangat
senang berteman dengannya karena dia baik, ramah, humoris, dan easy going. Aku
telah menyukainya sejak kelas satu SMA atau tepatnya saat dia menolongku dari
kakak kelas yang menggangguku saat MOS. Dia satu-satunya orang yang pernah
menyapaku yang selalu luput dari perhatian orang. Sekarang dia duduk di sebelahku,
tapi walaupun begitu aku tidak pernah bisa mengobrol dengannya. Karena saking
takut dan malunya, aku sampai tak bisa menyapanya.
Tapi
kenapa ya? Aku selalu merasa Trisna memperhatikanku. Apa itu hanya perasaanku
saja? Atau aku terlalu GR? Coba aku lirik saja. Lho, benarkan. Dia memandang ke
arahku. Dia memperhatikanku. Apa ada yang aneh dengan diriku?
“Hei,
Nisya. Ada tulisan apa ditangan kananmu itu?” Tanya Trisna tiba-tiba
mengagetkanku.
“eh,,
ah.. ini..”
Belum sempat menjawab, pak guru sudah berkata, “
Trisna, jangan mengobrol saat pelajaran.” Sambil memukul kepala Trisna dengan
buku. Semua anak sekelas tertawa melihat gaya Trisna yang terkena amarah pak
guru.
“iya,,
maaf pak.” Sahut Trisna cengengesan. Pak guru meninggalkan tempat Trisna
melangjutkan pelajaran.
“hehe..
itu daftar belanjaan ya?” Tanya Trisna lagi padaku sambil berbisik pelan. Dia
menunjuk tangan kananku yang memang terdapat tulisan daftar belanjaanku.
“Nisya, kamu orangnya lucu juga ya?”
“ah,
tidak.” Untuk pertama kalinya kami bicara. Apa semua ini mimpi? Rasannya
bahagia sekali. Jika ini mimpi, rasanya aku nggak ingin bangun lagi. Meski
catatan di tangan ini terlihat bodoh, tapi dari catatan tangan kanan ini aku
jadi bisa berbicara dengan Trisna.
Hari
ini Trisna juga terlihat semakin tampan dan menyilaukan. Tapi apa yang
dilakukannya sedari tadi ya? Kok tampak sibuk sekali. Ah, sudahlah. Aku harus
konsentrasi pada pelajaran. Tapi aku penasaran sekali dengannya. Lirik sebantar
saja deh.
Lho,
apa itu? Ditangan Trisna ada tulisan ‘Hari ini pelajarannya membosankan ya.
Bikin ngantuk.’ Apa maksud dari tulisan itu? Apa tulisan itu buatku?
“Trisna,
tangan kirimu?” tegurku dengan suara keras.
“ya,
Nisya? Ada pertanyaan?” Tanya pak guru yang tidak suka diganggu saat
menjelaskan.
“ah..
tidak ada apa-apa pak.” Balasku langsung menunduk malu. Pak guru melanjutkan
pelajarannya lagi.
Aku
melirik ke arah Trisna lagi. Ditangannya sudah ada tulisan, ‘jangan ngobrol
saat pelajaran.’ Aku terkejut melihat tulisan di tangan Trisna.
Aku
pun segera menulis di tangan kananku. ‘kenapa kau menulis di tangan mu?’
‘lebih
aman dibanding tulis di kertas atau ngobrol langung’ balas Trisna di tangannya.
‘nggak
juga kok. Tapi kenapa kamu menunjukkannya padaku?’
‘karena
aku pengen ngobrol denganmu.’ aku tersenyum malu membaca tulisan Trisna.
‘bohong’
‘serius
kok. Mulai sekarang kita ngobrol dengan tangan ya?’ Trisna terssenyum lembut
padaku sambil menunjukkan tulisan tangannya. Aku terkejut tetapi juga senang
membaca balasan dari Trisna. Aku kira kamu tidak akan pernah berkomunikasi.
Tapi dengan tulisan di tangan, kami jadi bisa berkomunikasi.
Sekarang
adalah waktunya pelajaran seni. Untungnya hari ini jadwalnya seni rupa. Aku
sangat suka sekali melukis dan hari ini aku memang sangat ingin menggambar.
Karena kejadian saat pelajaran tadi. Akhirnya aku bisa berkomunikasi dengan
Trisna. Benar-benar hari yang sangat istimewa.
“kenapa
kamu tertawa? Bolehkah aku menggambar di sebelahmu. Kebetulan aku banyak waktu.”
Kata Trisna dari belakangku. Aku terkejut melihat Trisna yang sudah di
belakangku.
“apa.
Ah” aku ingin pergi dari sini karena tidak mau Trisna merasa bosan padaku yang
memang tidak pintar bicara. Sebenarnya aku masih ingin disebelahnya, tapi aku
terlalu takut dan malu untuk berada di samping Trisna.
Saat
aku ingin pergi dari samping Trisna, Trisna menahan tanganku dan berkata,
“kenapa kamu mau pergi. Duduk di sini aja dan
temani aku.” Akhirnya aku kembali duduk di samping Trisna. Dia meminjam
buku sketch ku dan melihat hasil gambarku tadi.
“wah,
kau pintar menggambar ya? Kau lebih pintar menggambar dari pada bicara ya?”
sahut Trisna memandang gambarku takjub.
“tidak
juga kok. Tapi aku memang sangat membosankan kalau diajak bicara.” Aku menyesal
mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. Kenapa aku harus bicara seperti
itu. Padahal sudah ada kesempatan bicara dengan Trisna, tapi aku malah merusak
suasananya. Dasar bodoh.
“apa
maksudnya kamu bicara begitu?” tanya Trisna sambil mencoret pipiku dengan cat
air.
“ap..apa
yang kau lakukan Trisna?”
“jangan
pernah bilang kau membosankan. Orang yang bilang kau membosankan harus diberi
pelajaran. Aku memang belum tahu banyak tentang Nisya. Tapi aku yakin kamu
pasti orang baik dan tak membosankan. Kamu tadi bilang dirimu membosankan
makanya kamu harus diberi pelajaran. Aku akan mencoret mukamu sebagai pelajaran
untuk jangan pernah bilang seperti itu lagi. Sini aku harus coret kamu.” Jelas
Trisna sambil berusaha mencoret wajahku lagi. Tapi aku berusaha menghindar dari
coretan Trisna. Dia tetap berusaha untuk mencoret mukaku sambil tertawa senang.
Sehingga aku terbawa suasana yang membuatku bahagia.
“jangan,
ah. Aku geli tahu. Cukup. Hahaha.” Sahutku tertawa bahagia.
“ternyata
kalau kamu tertawa manis ya. Tawamu sangat manis sekali, Nisya. Mulai hari ini
kamu harus lebih sering tertawa.” Ujar Trisna tulus.
Ahh..
bagaimana ini? Aku sangat senang sekali. Aku juga malu mendengar perkataan
Trisna. Rasanya aku ingin lari saking malunya. Tapi aku juga ingin selalu ada
disamping Trisna. Eh, Trisna ingin menyentuhku. Bagaimana ini?
“Trisna?
Kenapa kamu ada disini. Kenapa kamu bersama Nisya?” Tanya Farid teman Trisna
yang datang bersama Kevin yang juga teman Trisna. Kedatangan Farid dan Kevin
menghentikan tangan Trisna yang ingin menyentuhku. Aku juga terkejut dengan
kedatangan ke dua sahabat Trisna tersebut.
“lho,
kenapa dengan mukanya Nisya? Kok ada coretan. Disini juga banyak alat tulis yang berantakan.” Ujar Kevin yang
memandang aneh ke arah Nisya.
“ditangan
Nisya juga banyak tulisan. Kau selalu nulis ditangan ya, Nisya? Nggak ngerti
deh, selera cewek aneh.” Sahut Farid lagi yang juga memandang aneh pada Nisya.
“hei,
kalian..”
Belum
selesai Trisna bicara, Kevin sudah berkata, “jangan-jangan Nisya suka sama
Trisna ya?”
Semua
perkataan Farid dan Kevin sangat menyakitkan. Terasa menamparku dan memang
kenyataannya seperti itu. Aku hanya bisa menunduk menahan malu dan sedih.
“kalian
keterlaluan. Kalian sudah mengolok-ngolok Nisya.” Bela Trisna yang marah karena
perkataan ke dua temannya. Dia bersiap ingin memukul ke dua temannya.
“hentikan.”
Teriakku pada Trisna. Aku tak ingin Trisna bertengkar dengan ke dua temannya
dan membuatnya malu karena aku.
“bukan.
Kalian salah. Aku tak pernah suka pada Trisna.” Sahutku yang langsung berlari
meninggalkan Trisna dan kawan-kawannya. Aku menangis pedih karena perkataanku
sendiri yang membohongi hatiku.
Sejak
peristiwa saat pelajaran seni lukis, aku tidak pernah berkomunikasi dengan
Trisna lagi. Sudah tidak ada pesan di tangan Trisna maupun di tanganku. Tetapi
aku sering melirik ke arah Trisna. Walaupun begitu aku segera menghentikan
perbuatanku karena teringat kembali kejadian dan ucapanku pada Trisna pada saat
peristiwa kemarin. Aku memang bodoh. Padahal sebenarnya aku sangat mencintai
Trisna. Dari dulu hingga sekarang. Tapi aku tak pernah berani mengatakannya.
Aku
jadi sedih mengingat semua kejadian yang lalu. Aku tanpa sadar menangis pelan
sambil menunduk ke bawah agar tidak diketahui orang lain. Karena saking
lelahnya akibat tadi malam tidak tidur memikirkan peristiwa kemarin, aku
tertidur saat pelajaran. Saat aku tidur, aku bermimpi Trisna menggambar sesuatu
di kulitku. Itu semua terasa sangat nyata. Tetapi apa yang digambar Trisna? aku
segera terbangun dan mendapati jari manis tangan kananku sudah ada gambar bentuk
cincin. Aku merasa tajub dan tak percaya.
“bohong.”
Aku menatap ke arah Trisna.
“aku
tidak bohong. Itu kenyataan.” Sahut Trisna tersipu malu.
“minami
jangan ngobrol saat pelajaran.” Teriak guru memperingatkan Trisna yang
bicaranya memang lumayan keras. Akhirnya Trisna menulis sesuatu di tangannya.
‘bukan
bohong kok. Aku memang selalu penasaraan denganmu. Sejak melihat tulisan di
tangan kananmu. Bukan, tetapi sejak dulu aku selalu penasaran denganmu. Aku
senang sekali, akhirnya bisa bicara denganmu. Sudah sejak lama aku menyukaimu
bahkan telah tumbuh jadi mencintaimu.’
Aku
terkejut membaca tulisan di tangan Trisna. Karena saking bahagianya, tanpa
sadar aku menangis dan berkata dengan suara keras sambil berdiri, “bukan. Aku
suka Trisna. Aku selalu mengagumimu. Selalu dan selalu. Sejak dulu.”
Semua
orang terkejut mendengar pengakuan cintaku. Termasuk Trisna tidak percaya
dengan keberanianku. Pak guru pun sampai menghentikan mencatatnya. Semua orang
langsung ribut karena pengakuan cintaku.
“eh,
ada apa?”
“apa
yang dikatakan Nisya tadi?”
“tadi
Nisya bilang, dia suka pada Trisna.”
Trisna
tertawa bahagia mendengar pengakuanku. Dia segera menarik aku keluar sebelum
semua orang tambah ribut. Semua orang terpana melihat perlakuan Trisna. Pak
guru pun memanggil Trisna dengan marah menyuruh kami kembali. Tapi Trisna terus
membawaku pergi. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang.
Kami sampai di tempat
kami menggambar kemarin. Aku duduk bersandar pada dada Trisna, sementara Trisna
memelukku. Aku menggenggam tangan Trisna serasa tak mau dilepaskan. Aku sangat
bahagia karena bisa berada di dekat Trisna.
“ah, eh. Trisna Aku
sangat bahagia. Akhirnya aku bisa menyentuhmu. Selama ini aku merasa kau sangat
baik dan manis. Aku merasa kamu bisa mencintaiku dengan tulus. Aku sangat
mencintaimu sepenuh jiwaku.” Ucapku pada Trisna.
“aku juga sangat
mencintaimu sejak dulu. Kamu satu-satunya wanita yang bisa membuat ku nyaman
dan berdebar tak karuan. Aku benar-benar sangat mencintaimu.” Sahut Trisna
tulus. Trisna mencium dahiku dengan lembut. Membuat perasaanku nyaman dan
sangat bahagia. Akhirnya aku bisa bersanding dengan pangeran impianku.
SELESAI